Saat ini, peran dan kualitas komunikasi telah menjadi hal yang sangat penting di dunia modern. Selain perkembangan teknologi, kecepatan komunikasi semakin meningkat seiring dengan jumlah dan kualitas perangkat komunikasi. Namun, masalah yang tidak diinginkan datang dengan perkembangan teknologi informasi ini. Di dunia saat ini, kecanduan teknologi (Turel, Serenko, & Giles, 2011) telah berubah melalui telepon seluler untuk komunikasi individu membentuk perilaku penggunaan telepon yang bermasalah (Bianchi & Phillips, 2005; Billieux, Linden, D'Acremont, Ceschi, & Zermatten, 2007; Billieux, Van Der Linden, & Rochat, 2008; Park, 2005) dan kecanduan smartphone seiring dengan meningkatnya popularitas smartphone (Demirci, Orhan, Demirdas, Akpinar, & Sert, 2014).
Kehadiran smartphone ditengah era globalisasi yang menuntut setiap orang mampu menjadi lebih update terhadap dunia yang penuh teknologi malah menjadikan smartphone sebagai salah hal yang tidak lagi dapat dipisahkan dari kehidupan. Segala informasi mampu diperoleh dengan cepat melalui smartphone, mulai dari informasi resep kue sederhana atau bahkan informasi mengenai fenomena yang terjadi di setiap penjuru dunia. Begitupula dengan proses komunikasi, smartphone memungkinkan setiap individu untuk mampu berkomunikasi dengan siapa saja dan di mana saja, memfasilitasi interaksi sosial dengan orang-orang yang sangat dekat, atau di sisi lain dunia. Dengan masuknya banyak perangkat teknologi dalam model smartphone baru dalam 15 tahun terakhir (Pendergrass & Town, 2017), banyak fokus kecanduan seperti kecanduan SMS (Hassanzadeh & Rezaei, 2011), kecanduan internet (Tao et al., 2010; Weinstein & Lejoyeux, 2010), dan kecanduan game (Charlton & Danforth, 2010; Wood, 2008) telah dikumpulkan menjadi satu objek. Oleh karena itu, phubbing terjadi bersamaan dengan fokus adiktif ini dan telah memasuki kehidupan sehari-hari sebagai fenomena multidimensi yang sangat memengaruhi komunikasi sehari-hari (Barrios-Borjas, Bejar-Ramos, & Cauchos-Mora, 2017; Karadag˘ et al., 2015).
Ditengah banyaknya keuntungan nyata dalam menyatukan orang-orang, smartphone terkadang dapat membuat orang terpisah (Turkle, 2011). Sebagai salah satu media berbasis digital, smartphone tentu memiliki peluang yang besar di masyarakat. Dibuktikan dengan perkembangan dunia digital yang cukup pesat di Indonesia, dimana 91% penduduk Indonesia menggunakan telepon genggam dan 60% nya merupakan smartphone. Lebih lagi ketika smartphone bergabung dengan internet dan menghasilkan sebuah media sosial. Hal ini akan mengakibatkan beberapa fenomena perubahan sosial di masyarakat, seperti berubahnya pola perilaku individu dengan orang di sekitar ketika mereka asyik bermain media sosial di smartphone, atau bahkan hanya dengan getaran smartphone saja individu mampu langsung teralihkan dari komunikasi langsung yang sedang dilakukan. Fenomena ketika individu lebih memilih untuk berinteraksi dengan smartphone yang mereka miliki ketimbang berinteraksi langsung secara fisik ini merupakan sebuah istilah baru yang disebut dengan phubbing.
Phubbing merupakan fenomena yang rupanya sudah terjadi dalam skala yang besar di kehidupan kita. Namun pada realitanya, tidak semua orang mampu menyadari akan bahaya yang mengintai dari fenomena ini. Istilah phubbing merupakan sebuah singkatan dari kata phone dan snubbing, yang digunakan untuk menunjukan sikap menyakiti lawan bicara dengan menggunakan smartphone yang berlebihan (Hanika: 2015). Phubbing mampu menyebabkan penurunan relasi sosial antara pelaku dan penerima phubbing karena pengabaian atau pengucilan yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak. Salah satu karakteristik phubbing yang juga dapat menurunkan relasi sosial ialah pengalihan kontak mata, dari yang seharusnya melihat ke lawan bicara namun teralihkan ke smartphone dan kemudian dapat ditafsirkan sebagai pemberian silent treatment, atau penolakan secara sosial.
Fenomena phubbing tidak semata-mata langsung terjadi begitu saja. Perilaku yang secara berkesinambungan menggunakan smartphone secara tidak sadar membentuk perilaku yang mengarah ke phubbing. Seperti halnya hasil penelitian yang menunjukkan dimana penggunaan smartphone berlebih mempunyai korelasi positif terhadap perilaku phubbing (Chotpitayasunondh and Douglas, 2016). Penggunaan media sosial juga merupakan salah satu faktor penentu phubbing pada seseorang (Karadaǧ et al., 2015). Jika dahulu pepatah mengatakan jauh di mata dekat di hati, maka yang terjadi pada para perilaku phubbing justru sebaliknya. Ketika individu asyik menggunakan smartphone saat terlibat perbincangan, seringkali ia tak mengindahkan keberadaan lawan bicaranya. Sehingga hal yang dekat di mata menjadi jauh. Ironisnya, phubbing justru seringkali terjadi ketika momen kebersamaan sedang berlangsung.
Alih-alih menjalin silaturahim, momen ketika berkumpul justru menjadi ajang saling menunduk dan senam jari. Phubbing jika dilakukan sekali dua kali masih bisa dimaklumi bagi teman atau orang yang lebih tua dari kita, tapi jika dilakukan secara terus menerus berdampak merusak kualitas hubungan antar individu maupun kelompok (Alamudi; 2019). Ketika seorang individu merasa banyak orang yang melakukan phubbing, maka ia akan berpikir bahwa itu adalah hal wajar yang dapat diterima. Seperti yang dijelaskan dalam learning through modeling bahwa setiap individu melakukan observasi berupa modeling atau imitasi dan kemdudian mempresentasikan tingkah laku individu yang diobservasi secara kognitif. Ketika individu yang diobservasi menggunakan smartphone-nya setiap waktu, maka akan menjadi panutan yang diikuti bentuk imitasi perilaku modeling, dimana individu yang mengamati adanya perilaku phubbing itu akan menganggap phubbing sebagai hal biasa dan malah melakukan hal yang sama tanpa berpikir untuk mengatasi situasi yang terjadi. Phubbing menunjukkan betapa setiap individu saat ini telah menjadi manusia yang asyik sendiri dengan smartphone yang dimiliki, terutama dalam hal menggunakan sosial media, sampai akhirnya tidak terlalu mempedulikan orang di sekitarnya sehingga menyebabkan terjadi degradasi relasi sosial yang semakin hari menjadi semakin parah. Karenanya diperlukan pembentukan kesadaran bagi setiap individu dalam memahami fenomena phubbing.
Phubbing didefinisikan sebagai individu yang menghentikan komunikasi tatap muka dengan orang lain untuk berinteraksi dengan telepon mereka. Ada konsekuensi penting sebagai akibat dari individu yang tidak fokus pada lawan bicara mereka selama komunikasi dan malah memperhatikan telepon mereka. Dalam literatur, ada temuan yang menunjukkan bahwa phubbing menjadi lebih umum di antara individu. Studi oleh Garcia dan Sinchi (2016) menetapkan bahwa 72% partisipan pernah terpapar phubbing. Davey dkk. (2017) mengungkapkan bahwa prevalensi phubbing adalah 49%. Penelitian dalam beberapa tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa efek negatif pada kehidupan sehari-hari akibat meningkatnya fenomena phubbing mungkin lebih drastis dari yang diperkirakan semula. Studi telah menunjukkan bahwa perilaku phubbing berdampak negatif terhadap kepuasan dan kepuasan yang diperoleh dari hubungan antara pasangan (A´ gua1, Patra˜o, & Leal, 2018; Chotpitayasunondh & Douglas, 2018a; Gonza´lez-Rivera, Segura-Abreu, & Urbistondo- Rodrı´guez, 2018; Knoll, Corso, & Junior, 2017; Krasnova, Abramova, Notter, & Baumann, 2016; Vanden Abeele, Antheunis, & Schouten, 2016). Efek negatif lain dari phubbing dilaporkan dalam kehidupan kerja. Karyawan yang menyatakan bahwa bos memperhatikan ponselnya selama komunikasi mengatakan bahwa mereka merasa pekerjaan yang mereka lakukan tidak dihargai dan kepercayaan diri tentang kemanjuran terkait pekerjaan berkurang (David & Roberts, 2017). Dapat dipahami dari penelitian bahwa ada refleksi negatif dari phubbing dalam kehidupan pendidikan seperti dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan. Abramova, Baumann, Krasnova, dan Lessman (2017) menetapkan bahwa phubbing menyebabkan gangguan di kelas. Temuan lain yang mendapatkan hasil serupa mengungkapkan bahwa phubbing biasa diamati dan merupakan perilaku yang bertanggung jawab dari perspektif siswa (Abramova, Baumann, Krasnova, & Lessman, 2017; Nieves, 2014; Ugur & Koc, 2015).
Selain semua itu, ada temuan menarik yang menunjukkan bahwa phubbing menyebabkan bahaya fisik dalam kehidupan sehari-hari. Du, Xing, dan Gong (2017) memperoleh temuan yang membahas keberadaan dan penggunaan sistem yang memperingatkan individu phubber yang berjalan di jalan sambil melihat ponsel mereka bahwa mereka telah memasuki area berbahaya dalam hal lalu lintas. Studi lain dengan kualitas serupa mentransfer aplikasi komputer yang mendorong mereka yang berhenti melakukan phubbing dan memasuki komunikasi dua arah melalui monitor yang ditempatkan di area publik terbuka ke dalam hasil eksperimen (Metsiritrakul, Puntavachirapan, Kobchaisawat, Leelhapantu, & Chalidabhongse, 2016). Semua studi ini menunjukkan bahwa phubbing memiliki efek komprehensif pada kehidupan sehari-hari dan telah menjadi kasus yang membutuhkan pemeriksaan penyebab dan hasil.
Degradasi relasi sosial berupa phubbing sebagai dampak media sosial dapat menurunkan lima aspek kualias komunikasi, yaitu:
1. Keterbukaan, adalah untuk menyampaikan dan mengungkapkan segala sesuatu yang ada pada diri individu
2. Empati, adalah dapat merasakan seperti yang dirasakan oleh orang lain secara intelektual maupun emosional
3. Kesetaraan, adalah untuk menyeimbangkan kedudukan dan tanggung jawab antar individu
4. Kepercayaan, adalah untuk menghilangkan prasangka dan kecurigaan antara individu
5. Sikap mendukung, adalah untuk memberikan dukungan secara terucap maupun tidak terucap
Ketika lima aspek ini menurun, maka relasi sosial individu tersebut dapat dipastikan menurun pula. Ketika hal ini terjadi, maka individu bisa saja memperolah pengucilan sosial atas tindakan yang ia lakukan. Tumbuhnya relasi sosial dapat diawali dengan interaksi antar individu yang saling menegur, berjabat tangan, dan saling berkomunikasi. Dapat dipahami bahwa relasi sosial terjadi karena adanya individu yang saling membutuhkan antar individu dengan individu lainnya, relasi sosial ini dimulai dari tingkat yang sederhana dan tidak terbatas sampai tingkat yang lebih luas dan kompleks. Idealnya semakin dewasa dan bertambah umur tingkat relasi sosial makin berkembang dan menjadi amat luas dan kompleks. Namun apabila seorang individu tidak mampu mengendalikan dirinya dalam penggunaan media sosial dan smartphone tentu saja akan berdampak pada terdegrasasinya relasi sosial yang dimiliki. Phubbing tetap memiliki hal positif jika dikaji lebih lanjut. Ketika seseorang mendapatkan perilaku phubbing dari lawan bicaranya tentu akan terjadi dua kemungkinan. Yang pertama ialah ia akan ikut melakukan phubbing atau kebalikannya ia menjadi mengerti seberapa bahaya phubbing. Sehingga individu yang memiliki kesadaran akan fenomena ini akan berusaha lebih aktif berinteraksi dan membangun relasi sosial di dunia nyata, individu ini akan berorientasi pada tujuan tertentu dan tidak menganggap bahwa media sosial adalah satu-satunya cara untuk berinteraksi dengan orang lain. Mereka tidak mudah terpengaruh apa yang diberikan oleh media kepadanya. Individu membentuk pemahaman sendiri akan isi dan makna media dan mereka secara aktif memutuskan bagaimana menggunakan media (Niekamp, 2003). Kesadaran dalam diri individu terkait fenomena phubbing malah akan membuat relasi sosial semakin intens akibat munculnya kecemasan akan terjadinya degredasi relasi sosial yang dijalani.
Wang, Xie Wang, Wang, dan Lei (2017) meneliti hasil phubbing dan menentukan bahwa phubbing mungkin terkait dengan depresi dan berkurangnya kepuasan dalam hubungan. Roberts dan David (2016) mengidentifikasi bahwa pasangan dengan gaya keterikatan cemas menunjukkan reaksi yang lebih konfrontatif saat terkena phubbing. Chasombat (2015) mengidentifikasi bahwa mereka yang menampilkan perilaku phubbing telah mengurangi keterampilan mendengarkan.
Selain studi yang meneliti hasil dan masalah yang terkait dengan phubbing, ada beberapa studi tentang penyebab dan motivasi yang mengarah pada phubbing. Misalnya, Błachnio dan Przepiorka (2018) menetapkan keinginan untuk masuk ke Facebook mungkin menjadi salah satu penyebab phubbing. Chotpitayasunondh dan Douglas (2016) mengidentifikasi bahwa individu dengan kecanduan smartphone dan paparan phubbing oleh orang lain dapat menyebabkan mereka menampilkan perilaku phubbing. Thomas (2016) mengungkapkan bahwa pengalaman stres akademik dapat menyebabkan individu melakukan phubbing.
Penelitian Erzen, dkk. (2019) melalui hasil analisis regresi mengidentifikasi bahwa lima faktor ciri kepribadian kesadaran dan neurotisisme memiliki kekuatan prediktif untuk phubbing. Analisis menentukan conscientious memiliki kontribusi positif sementara neurotisisme memiliki kontribusi negatif terhadap model. Hasil ini menunjukkan bahwa individu yang tidak memiliki ciri-ciri tipe kepribadian conscientious dan mereka yang memiliki tipe kepribadian neurotik lebih cenderung menampilkan perilaku phubbing. Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa neurotisisme dan kesadaran memprediksi phubbing. Hasilnya menunjukkan konsistensi yang jelas dalam hal karakteristik kontras individu neurotik dan teliti. Salah satu ciri khas individu neurotik adalah kesulitan dalam mengendalikan impuls (John & Srivastava, 1999). Mengontrol emosi sulit bagi individu neurotik dan sebagai hasilnya, keadaan keseimbangan emosional yang berlawanan dipilih untuk digunakan daripada keadaan neurotisisme (McCrae & Costa, 2003). Kebalikan dari neurotisisme individu tipe teliti adalah mereka yang dapat mengontrol impuls mereka (John & Srivastava, 1999) dan memiliki kepribadian disiplin dan sabar (McCrae & Costa, 1987). Individu yang teliti dapat menunda keinginan mereka (Sleem & El-Sayed, 2011) dan mengatur waktu mereka sesuai keinginan (Zˇivcˇic´-Bec´irevic´, Smojver-Azˇic´, & Dorcˇic´, 2017). Hasilnya mengarah pada pertimbangan bahwa phubbing memiliki aspek yang terkait dengan kontrol impuls dan bahwa orang yang terampil dalam mengontrol impuls memiliki kemungkinan lebih kecil untuk terpengaruh oleh phubbing.
Masalah yang berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengendalikan impuls mereka tampaknya memiliki kualitas yang mirip dengan gangguan perilaku lainnya. Misalnya, disebutkan bahwa gangguan kecanduan perilaku seperti kecanduan internet (Treuer, Fabian, & Fu¨redi, 2001), kecanduan game (Weng et al., 2013), dan kecanduan smartphone (Gutie´rrez, de Fonseca, & Rubio, 2016) umumnya karena masalah yang berkaitan dengan kemampuan mengendalikan impuls. Situasi ini mengungkapkan bahwa individu neurotik merasakan keinginan yang tak terbendung untuk mendapatkan objek atau keadaan yang mereka inginkan dan tidak dapat menunjukkan kemauan yang diperlukan untuk menundanya.
Ketika diperiksa dari segi individu neurotik, kemungkinan penyebab phubbing lain adalah kecenderungan untuk menunjukkan depresi. Diketahui bahwa individu neurotik rentan terhadap depresi (Liang, 2018; Shi, Liu, Yang, & Wang, 2015) dan kecenderungan untuk tetap menyendiri (Stokes, 1985). Penelitian juga menunjukkan bahwa phubbing memiliki korelasi positif dengan depresi (Davey et al., 2017; Wang et al., 2017) dan kesepian (David & Roberts, 2017). David dan Roberts (2017) menyatakan bahwa phubbing dikaitkan dengan perasaan eksklusi individu dan bahwa individu memperhatikan ponsel mereka dengan tujuan menghilangkan emosi ini, mencoba untuk menghargai perasaan memiliki mereka melalui saluran seperti media sosial. Hasil serupa telah diperoleh dalam penelitian lain, yang membahas hubungan antara platform media sosial dan ciri-ciri kepribadian. Hawi dan Samaha (2018) menetapkan bahwa fitur kesadaran dan neurotisisme memprediksi kecanduan media sosial dan internet. Przepiorka, Blachnio and Cudo (2018), serta sifat hati nurani (conscientiousness trait), juga menentukan bahwa fitur yang menyenangkan (agreeable feature) memiliki dampak negatif pada kecanduan internet. Ini mendukung gagasan bahwa individu mencoba mengatasi perasaan kesepian dan introversi dengan menggunakan telepon mereka lebih sering. Dia menemukan bahwa tanggung jawab dan neurotisisme memiliki efek negatif pada kecanduan Facebook dalam penelitian di media sosial (Atroszko et al., 2018; Tang, Chen, Yang, Chung, & Lee, 2016). Kırcaburun (2016) menyatakan bahwa keramahan dan pemborosan dengan hati nurani (conscientiousness trait) juga memiliki efek negatif pada kecanduan Twitter. Juga, Kircaburun dan Griffiths (2018) menemukan bahwa kecanduan Instagram berhubungan negatif dengan kesadaran dan keramahan. Mempertimbangkan jaringan hubungan antara platform media sosial dan kecanduan virtual ini, dapat dikatakan bahwa phubbing terkait dengan individu yang tidak cukup memperhatikan komunikasi tatap muka dan juga tidak peduli dengan individu yang berkomunikasi dengan mereka.
Untuk alasan ini, phubbing menunjukkan tumpang tindih yang parah dengan ciri-ciri kepribadian neurotik, dan dapat dikatakan terkait dengan emosi dan pikiran negatif. Studi oleh Chotpitayasunondh dan Douglas (2018) menentukan phubbing memiliki korelasi positif dengan emosi dan pikiran negatif mendukung pandangan ini. Penjelasan lain untuk korelasi phubbing dengan neurotisisme mungkin adalah rendahnya harga diri orang-orang ini. Penelitian telah melaporkan bahwa harga diri neurotik (Marshall, Lefringhausen, & Ferenczi, 2015; Scheier, Carver, & Bridges, 1994) dan individu yang menunjukkan perilaku phubbing (Błachnio & Przepiorka, 2018) rendah. Akibatnya, rendahnya harga diri individu neurotik dan pikiran mereka yang terus menerus disibukkan dengan pikiran negatif dapat menyebabkan individu tersebut mulai melakukan phubbing. Tampaknya ini termasuk individu dengan harga diri rendah yang berusaha memenuhi kebutuhan harga diri mereka melalui telepon melalui platform yang mereka akses seperti game dan media sosial. Namun, ada banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban terkait phubbing dan kepribadian dan studi tentang topik tersebut dalam literatur masih belum cukup. Misalnya, di antara individu neurotik dengan ponsel cerdas, mengapa beberapa orang tidak memiliki perilaku phubbing? Mengapa individu yang teliti akan rentan terhadap phubbing? Studi yang melibatkan metode campuran dan eksperimental akan bermanfaat untuk menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan serupa.
Untuk intervensi terhadap masalah phubbing yang semakin meluas, perlu bagi pihak berwenang untuk menetapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi dunia yang berkembang dan berubah. Misalnya, dalam pelajaran literasi media di sekolah, generasi muda harus diajari tentang fitur smartphone, faktor risiko yang terjadi terkait penggunaan telepon, situasi di mana phubbing terjadi dan masalah apa yang mungkin berkembang di masa depan dan menciptakan kesadaran tentang topik ini akan berkontribusi pada intervensi terhadap phubbing.
Penulis: Vaya Audrey Amalia
Referensi:
Aditia, R., Fenomena Phubbing: Suatu Degradasi Relasi Sosial Sebagai Dampak Media Sosial. KELUWIH: Jurnal Sosial dan Humaniora Vol.2 (1) 8 – 14, April 2021 https://doi.org/10.24123/ soshum.v2i1.4034
Erzen, E., Odaci, H., & Yeniçeri, İ. (2019). Phubbing: Which Personality Traits Are Prone to Phubbing? Social Science Computer Review, 089443931984741. doi:10.1177/0894439319847415
0 comments
Posting Komentar